RESENSI
Miris sekali cara ibu Keumala (Cut Yanti) mengasingkan anaknya yang tunanetra. Apakah seorang ibu—walaupun cuma sekadar ibu angkat—tega membiarkan anak perempuannya hidup sendirian di sebuah pondok di pinggir pantai yang lintasannya berundak-undak dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri? Apakah ada seorang ibu yang tega tidak merawat anaknya yang sakit dan cuma menitip mengantar makanan yang ditaruh dalam sebuah set rantang pada seorang bocah perempuan bernama Inong (Shilla Vaqa Ismi) untuk diberikan pada Keumala (Nadia Vega) setiap harinya?
Pola ini sama seperti sejarah panjang pola pemasungan orang gila (sakit jiwa) yang sering dan masih dapat ditemui hingga hari ini di daerah asal cerita film ini, Aceh. Ada beberapa keluarga yang jika anggotanya sakit jiwa akan memasung atau merantai dan dibiarkan hidup sendiri di sebuah tempat, biasanya di bagian belakang rumah. Alternatif lainnya: dikirim ke rumah sakit jiwa. Pola pemasungan yang pertama tentunya menjadi antitesis karena di tempat pengambilan gambar dan latar film ini, Pulau Weh (Sabang), pernah mahsyur dengan sebutan pulau orang gila pada zaman Hindia-Belanda. Kaum kompeni pernah mendirikan rumah sakit jiwa terbesar di Nusantara yang hingga sekarang gedungnya masih aktif digunakan sebagai Rumah Sakit Pangkalan TNI AL J. Lilipori.